sang saka

sang saka
berkibarlah benderakuh, lambang suci gaga berani. berkibarlah di seluruh tanah indonesia

INDONESIA RAYA

halaman utama

Sabtu, 06 Februari 2010

pejuang pro indonesia


08/2009 15:06
Liputan6.com, Jakarta: Lelaki brewok dan berambut gondrong itu tampak bersemangat mengibarkan bendera Merah Putih yang sesekali diciumnya. Ia pun tenggelam dalam kerumunan wartawan dan sejumlah pendukung, sesaat sebelum meninggalkan Cipinang, penjara di bilangan Jakarta Timur. Pria kekar berpostur sedang itu adalah Eurico Guterres, mantan wakil komandan milisi pro-integrasi Timor Timur. Ketika itu, tepatnya Senin pekan kedua April tahun silam, Eurico baru saja bebas. Selama dua tahun ia mendekam di penjara dalam kasus pelanggaran berat hak asasi manusia saat kerusuhan di Timor Timur, pascajajak pendapat 30 Agustus 1999.

Eurico Barros Gomes Guterres, kelahiran Viqueque, Timor Timur, adalah pejuang integrasi Timor Timur yang disebut-sebut direkrut oleh militer Indonesia. Ia dituduh terlibat dalam sejumlah pembantaian di Timor Timur. Eurico dituding pula sebagai pemimpin milisi utama yang terlibat pembantaian pascareferendum dan penghancuran Dili, ibu kota Timor Timur--nama Timor Leste sebelum lepas dari Indonesia.

Eurico dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara pada November 2002. Putusan ini kemudian dikuatkan hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Ia baru mulai dipenjarakan pada tahun 2006, setelah gagal dalam upaya banding yang diajukan.

Dalam persidangan maraton di Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia Ad Hoc, Eurico didakwa sebagai provokator dalam penyerangan rumah Manuel Viegas Carascalao, 17 April 1999, sehingga menewaskan 12 orang dan mencederai puluhan lainnya. Namun, pada April 2008, Eurico yang mengajukan peninjauan kembali, dibebaskan dari segala tuduhan melalui keputusan Mahkamah Agung yang menyatakan telah menemukan novum atau bukti baru.

Beberapa saat setelah menghirup udara kebebasan mantan Komandan Milisi Aitarak ini menggelar jumpa pers. Eurico menyatakan: "Orang yang sudah diadili, orang yang sudah dihukum karena kasus yang sama, tidak mungkin, tidak bisa diadili untuk kedua kalinya". Ia mengatakan telah menjalani aturan hukum di Indonesia. Tapi, dirinya tak akan mematuhi hukum internasional yang akan mengadilinya.

Dengan keluarnya Eurico Guterres dari penjara, berarti 18 terdakwa (dari militer dan kepolisian) kasus pelanggaran HAM Timor Timur telah dibebaskan. Empat tahun sebelumnya, Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timor Timur periode 1992 hingga 2002. yang juga menjadi terpidana kasus pelanggaran HAM di Timtim dibebaskan. Dia bisa menghirup udara bebas dari Penjara Cipinang setelah Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang membatalkan vonis tiga tahun majelis hakim Peradilan Ad Hoc HAM, pertengahan Agustus 2002.

***

Jauh sebelumnya, tepatnya 22 September 1999, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor Timur. KPP HAM yang diketuai Albert Hasibuan kemudian memusatkan perhatian pada kasus-kasus utama sejak Januari sampai Oktober 1999. Kasus-kasus itu meliputi: pembunuhan di kompleks Gereja Liquica, 6 April; penculikan enam orang warga Kailako, Bobonaro 12 April; pembunuhan penduduk sipil di Bobonaro; penyerangan rumah Manuel Carrascalao, 17 April; penyerangan Diosis, Dili, 5 September; penyerangan rumah Uskup Belo, 6 September; pembakaran rumah penduduk di Maliana, 4 September; penyerangan kompleks Gereja Suai, 6 September; pembunuhan di Polres Maliana, 8 September; pembunuhan wartawan Belanda Sander Thoenes, 21 September; pembunuhan rombongan rohaniwan dan wartawan di Lospalos, 25 September; dan kekerasan terhadap perempuan.

Di tahun 1999, suhu politik dan keamanan di Timor Timur, memang kian panas [Baca: Keluar Juga Kerikil dalam Sepatu Itu]. Dalam kesaksian saat persidangan terhadap Tono Suratman, bekas Komandan Resor Militer Wiradharma, mantan Panglima TNI Jenderal Wiranto mengakui tahu kerusuhan bakal terjadi setelah pemerintah menyampaikan dua opsi (otonomi atau kemerdekaan) kepada masyarakat Timor Timur. Namun, menurut Wiranto, pasukan TNI tidak bisa menghentikannya. "Daerah Timor Timur memang rawan konflik. Kami sudah mencegah, kalau nggak pasti sudah terjadi perang saudara," kata Wiranto.

***

Memang, saat itu, dalam waktu bersamaan muncul berbagai kebijakan politik dan keamanan terhadap Timor Timur. Ini kemudian justru memperkuat kelompok-kelompok sipil bersenjata yang dikenal sebagai milisi dan meningkatnya bentuk-bentuk kekerasan. Serta, munculnya reaksi dari kelompok masyarakat pro-kemerdekaan. Bentrokan fisik maupun bersenjata pun kerap terjadi di antara kedua kelompok.

Berdasarkan laporan Pangdam Udayana Mayor Jenderal TNI Adam R. Damiri kepada Feisal Tanjung--Menteri Koordinator Politik Keamanan saat itu, dinyatakan bahwa kelompok pro-integrasi dimotori oleh para pemuda yang mendirikan organisasi cinta merah putih. Laporan-laporan lainnya menyebutkan para pemuda yang membentuk organisasi cinta merah putih tersebut sebelumnya adalah anggota Gada Paksi atau Garda Muda Penegak Integrasi yang dihimpun, dilatih dan dibiayai oleh Kopassus tahun 1994-1995.

Nah, Eurico Guterres yang tak lain pemimpin milisi Aitarak di Dili adalah tokoh dalam Gada Paksi tersebut. Kelompok-kelompok milisi itu lalu bergabung ke dalam Pasukan Pejuang Integrasi dengan panglimanya Joao Tavares dan wakilnya Eurico Guterres serta kepala stafnya, Herminio da Costa da Silva. Kelompok-kelompok pro-integrasi ini menurut keterangan sejumlah bupati dan Gubernur Timor Timur disebut Pam Swakarsa. Keberadaan milisi pro-integrasi pun diakui oleh Jenderal TNI Wiranto.

Institusi kepolisian pun seakan tak berfungsi menerapkan tindakan hukum dalam kasus-kasus kekerasan. Soal ini, mantan Kepala Kepolisian Daerah Timor Timur semasa pelaksanaan jajak pendapat, Timbul Silaen, menilai beberapa peristiwa penyerangan yang terjadi disebabkan oleh dua hal. "Ada lubang-lubang yang tidak tuntas dalam pelaksanaan kesepakatan itu (kesepakatan otonomi khusus Timor Timur)," ujar dia, dalam forum dengar pendapat yang digelar Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor Leste, awal Mei 2007.

Menurut Timbul, ketika kesepakatan itu ditandatangani, ada proses kantongisasi pelucutan senjata. "Pelucutan senjatanya tidak beres. Katanya senjata harus dilucuti dan dikumpulkan, tapi ternyata tidak," ujar dia. Akibatnya, penyerangan terus terjadi. Faktor percepatan pelaksanaan jajak pendapat, menurut Timbul juga menjadi salah satu faktor.

***

Akhirnya, hasil jajak pendapat menunjukkan hanya 21,5 persen rakyat Timor Timur menerima Otonomi Khusus dan tetap bergabung dengan NKRI, seperti yang ditawarkan Presiden B.J. Habibie. Selebihnya, 78,5 persen menolak tawaran tersebut dan memilih lepas dari Indonesia. Setelah itu, kelompok pro-integrasi menyambut hasil jajak pendapat dengan “membumihanguskan” Bumi Loro Sae. Opsi yang ditawarkan Presiden Habibie dituding sebagai sumber malapetaka.

Ibarat jarum jam yang terus berputar ke depan, kala itu sejarah tidak bisa diulang di Timor Timur. Seperti pada 1975, sewaktu beberapa kelompok politik di sana menyatakan bergabung dengan Indonesia.

Setelah lepas, bekas provinsi ke-27 Indonesia itu berada dalam naungan pemerintahan sementara PBB di Timtim atau UNTAET [Baca: UNTAET Muluskan Bisnis Aussie]. Dan, pada 20 Mei 2002, Timor Timur menjadi negara baru: Republik Demokrat Timor Leste.(ANS/ROM)

Ambalat

http://id.wikipedia.org/wiki/Sengketa_blok_maritim_Ambalat

Proses reformasih

Proses reformasi dalam kancah politik Indonesia telah berjalan sejak 1998[rujukan?] dan telah menghasilkan banyak perubahan penting.

Di antaranya adalah pengurangan masa jabatan menjadi 2 kali masa bakti dengan masing-masing masa bakti selama 5 tahun untuk presiden dan wakil presiden, serta dilaksanakannya langkah-langkah untuk memeriksa institusi bermasalah dan keuangan negara. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang fungsinya meliputi: melantik presiden dan wakil presiden (sejak 2004 presiden dipilih langsung oleh rakyat), menciptakan Garis Besar Haluan Negara (GBHN), mengamandemen UUD dan mengesahkan undang-undang. MPR beranggotakan 695 orang yang meliputi seluruh anggota DPR yang beranggotakan 560 orang ditambah 132 orang dari perwakilan daerah yang dipilih dari masing-masing DPRD tiap-tiap provinsi serta 65 anggota yang ditunjuk dari berbagai golongan profesi.

DPR, yang merupakan institusi legislatif, mencakup 462 anggota yang terpilih melalui sistem perwakilan distrik maupun proporsional (campuran). Sebelum pemilu 2004, TNI dan Polri memiliki perwakilan di DPR dan perwakilannya di MPR akan berakhir pada tahun 2009. Perwakilan kelompok golongan di MPR telah ditiadakan pada 2004. Dominasi militer di dalam pemerintahan daerah perlahan-lahan menghilang setelah peraturan yang baru melarang anggota militer yang masih aktif untuk memasuki dunia politik.

Politik Indonesia

Indonesia adalah sebuah negara republik berdasarkan UUD 1945. Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan murni atau pure separation of powers, melainkan partial separation of powers atau pembagian kekuasaan, dengan sentral berada pada pemerintah Indonesia, hal ini tercermin dari dimilikinya sebagian kekuasaan yudikatif dan kekuasaan legislatif oleh presiden (eksekutif). Kekuasaan yang dimiliki eksekutif dalam bidang yudikatif meliputi pemberian grasi, abolisi, amnesti dan rehabilitasi oleh presiden, namun harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan kekuasaan eksekutif dalam bidang legislatif meliputi menetapkan Perpu dan Peraturan Pemerintah. Sistem pemerintahan Indonesia sering disebut sebagai "sistem pemerintahan presidensial dengan sifat parlementer". Setelah Kerusuhan Mei 1998 yang berujung pada lengsernya Presiden Soeharto, reformasi besar-besaran segera dilakukan di bidang politik.

timtim setelah jajak pendapat 1999

timtim setelah jajak pendapat 1999
menurut Vicente, mantan Ketua Sinode Gereja Protestan setempat, berintegrasinya Timor Timor ke NKRI bagaikan seorang anak yang hilang dan kembali kepangkuan ibunya. Dalam jajak pendapat tahun 1999 hasilnya dimenangi masyarakat "Prokem" (Pro Kemerdekaan) dengan perbandingan suara 71 dengan 29, tetapi berdasarkan sejarah suku etnis Timor Timur dengan Timor Barat tidak pernah bisa terpisahkan. Dari berbagai sisi seperti bahasa dan adat istiadat, masyarakat Timor Timur yang mendiami wilayah Timur dan masyarakat Timor Barat yang mendiami wilayah Barat, memiliki kesamaan yang tidak terpisahkan. "Kalaupun sekarang kedua bersaudara itu harus terpisah karena kepentingan politik, tetapi keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dan masyarakat Timor Timur akan aman bila kembali bersatu dengan saudara-saudaranya di Timor Barat," katanya. Menjawab pertanyaan, Satriawan yang senantiasa mengikuti perkembangan wilayah negara Timor Leste menyatakan berdasarkan fakta saat masyarakat Timor Timor berintegrasi dengan NKR tahun 1976 hingga 1999, daerah itu relatif aman dan masyarakatnya menikmati kesejahteraan. Dibanding dengan masa penjajahan Portugis dan setelah mendapatkan kemerdekaan tahun 2001, maka masa "emas" bagi masyarakat Timor Timur adalah saat berintegrasi (1976 s/d 1999). Itu sebabnya, tidak sedikit masyarakat Timor Leste yang setelah merdeka dan melepaskan diri dari NKRI menyesal, karena janji Uskup Belo (pimpinan Gereja Katholik pada masa itu) akan hidup lebih sejahtera setelah merdeka, ternyata tidak kunjung nyata. Bahkan perang saudara kian menjadi, pertikaian antar kelompok etnis yang ada justru semakin tidak terkendali, kehidupan kian susah, karena harga-harga sandang-pangan mengalami peningkatan luar biasa. Masyarakat sangat merindukan kehidupan d imasa-masa integrasi, sehingga peluang kembalinya masyarakat Timor Timur kepangkuan Ibu Pertiwi kian besar. Suka tidak suka, cepat atau lambat, pemerintah Indonesia harus mempersiapkan diri. "Memang terlepasnya Timor Timur pasca jajak pendapat merupakan pengalaman yang sangat pahit bagi bangsa Indonesia. Tetapi demi kemanusiaan, Indonesia tidak mungkin mampu menolak keinginan kembalinya masyarakat Timor Timur ke pangkuan Ibu Pertiwi. Ibarat anak yang hilang tidak mungkin orangtua melakukan penolakan," demikian Satriawan Sahak.( ant/Cn07 )

timtim setelah jajak pendapat 1999

timtim setelah jajak pendapat 1999
eluang Kembalinya Timtim ke Pangkuan RI Kian Terbuka Mataram, CyberNews.Pengamat hukum dan politik Universitas Mataram (Unram), H. Satriawan Sahak, SH M.Hum, mengemukakan peluang kembalinya Timor-Timur (Timor Leste,red) ke pangkuan "Ibu Pertiwi" kian terbuka. "Melihat situasi dan kondisi sosial politik yang terjadi di daerah bekas jajahan Portugal itu pasca kemerdekaan setelah jajak pendapat 1999, berpeluang besar kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi," katanya kepada wartawan di Mataram, Minggu. Menurut dia, kondisi sosial politik yang kian memanas, khususnya setelah penembakan warga sipil oleh pasukan perdamaian asal Australia, merupakan wujud tidak mampunya negara-negara asing mengamankan daerah itu dari pergolakan "perang saudara". Perang saudara yang berkepanjangan tidak akan pernah berakhir bila penanganan menggunakan pola-pola Barat, karena karakteristik masyarakat setempat sangat berbeda dengan budaya-budaya asing. Kolonial Portugis pada 1974, pada saat terjadi "Revolusi Bunga" hengkang meninggalkan wilayahya dan membiarkan masyarakat Timor-Timur terlibat perang saudara. Ketidakmampuan mengamankan daerah jajahannya ditandai dengan memberikan "kekuasaan" kepada salah satu partai, yakni Fretelin, sehingga terjadi pergolakan perang saudara yang melibatkan beberapa partai lain seperti UDT, Apodete, Trabalista, Kota. Perang saudara yang berkecamuk didaerah bekas jajahan Portugis tersebut memaksa sebagian besar masyarakat Timor Leste, khususnya dibagian Barat Timor Timur seperti Dili, Liquisa, Ermera, Maliana (Bobonaro), Kovalima, Oecusi mengungsi ke wilayah Timor Barat (Atambua, red). Pengungsian seperti itu bukan hanya terjadi saat berkecamuknya perang saudara tahun 1974/1976 dan pasca jajak pendapat tahun 1999, tetapi beberapa kali sebelumnya saat terjadi pemberontakan masyarakat Timor Timur terhadap negara kolonial Portugis. Berdasarkan catatan sejarah, pergolakan yang terjadi dalam masyarakat Timor Timur (Timor Leste) tidak akan pernah reda selama ditangani orang atau pihak asing. "Seorang tokoh pejuang dan tokoh agama Timor-Iimur almarhum Pendeta Vicente pernah menyatakan bahwa berintegrasinya Timor-Timur ke NKRI merupakan kehendak Tuhan Yang Maha Esa," katanya.