sang saka

sang saka
berkibarlah benderakuh, lambang suci gaga berani. berkibarlah di seluruh tanah indonesia

INDONESIA RAYA

halaman utama

Senin, 22 Februari 2010

Klaim Ambalat, Malaysia Gunakan Peta Sipadan (2)

proindonesia :
text TEXT SIZE :
Share
Lusi Catur Mahgriefie - Okezone

JAKARTA - Sengketa blok Ambalat yang melibatkan Indonesia-Malaysia terus berlanjut. Hal ini kembali mencuat setelah untuk kesekian kalinya, kapal Malaysia berada di wilayah itu pada pekan lalu.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, Senin 25 Mei lalu, KRI Untung Suropati yang sedang berpatroli di wilayah Ambalat mendapati kapal perang milik angkatan laut Malaysia yakni KD Yu-3508. KD Yu mengatakan, tujuannya ke Tawau namun KRI Untung Suropati berhasil mengusirnya.

Lalu pada 29 Mei belasan kapal berbendera Malaysia berhasil terdeteksi pesawat pengintai TNI Angkatan Udara di perairan batas terluar blok Ambalat. Salah satu diantaranya adalah kapal perang patroli Jerong milik Tentara Diraja Malaysia.

Diduga kuat, ini merupakan tindakan Malaysia guna meningkatkan patrolinya setelah peristiwa pengusiran pada 25 Mei.

Kejadian itu semakin menguatkan indikasi bahwa Malaysia akan mengklaim Ambalat sebagai miliknya. Meski sejak tahun lalu, Malaysia secara terang-terang mengakui Ambalat miliknya.

Untuk klaim ini, Malaysia menggunakan kepemilikannya atas Sipadan-Ligitan pada 17 Desember 2002 lalu.

Setelah "menang" dan memiliki Sipadan, Malaysia menganggap garis batas kedua negara dengan otomatis mengalami penyesuaian, karena diukur dari Sipadan-Ligitan. Hal ini sebagai perwujudan peta 1979 yang dibuat secara sepihak oleh Malaysia.

Pada peta itu, Malaysia menganut aturan 70 mil laut, sedangkan Indonesia berdasarkan konvensi internasional, gunakan batas 12 mil laut yaitu united nation convention law of sea atau UNCLOS yang diakui PBB.

Perlu diketahui, peta itu tidak disetujui negara-negara tetangga lantaran mencaplok banyak wilayah. Negara yang tak setuju seperti Singapura, Inggris yang mewakili Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, dan Vietnam.

Dalam peta itu, Malaysia secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya, yaitu dengan memajukan koordinat arah utara melewati pulau Sebatik.

(Diolah dari berbagai sumber) (lsi)

Ambalat


proindonesia : Ambalat adalah blok laut luas mencakup 15.235 kilometer persegi yang terletak di Laut Sulawesi atau Selat Makassar dan berada di dekat perpanjangan perbatasan darat antara Sabah, Malaysia, dan Kalimantan Timur, Indonesia. Penamaan blok laut ini didasarkan atas kepentingan eksplorasi kekayaan laut dan bawah laut, khususnya dalam bidang pertambangan minyak. Blok laut ini tidak semuanya kaya akan minyak mentah.

AWAL PERSENGKATAAN
Persoalan klaim diketahui setelah pada tahun 1967 dilakukan pertemuan teknis pertama kali mengenai hukum laut antara Indonesia dan Malaysia. Kedua belah pihak bersepakat (kecuali Sipadan dan Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo lihat: Sengketa Sipadan dan Ligitan). Pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia, yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia, [1] kedua negara masing2 melakukan ratifikasi pada 7 November 1969, tak lama berselang masih pada tahun 1969 Malaysia membuat peta baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca) tentunya hal ini membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Kemudian pada tanggal 17 Maret 1970 kembali ditanda tangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia. [2] Akan tetapi pada tahun 1979 pihak Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim dengan yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati Pulau Sebatik. [3] Indonesia memprotes dan menyatakan tidak mengakui klaim itu, merujuk pada Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970. Indonesia melihatnya sebagai usaha secara terus-menerus dari pihak Malaysia untuk melakukan ekspansi terhadap wilayah Indonesia. Kasus ini meningkat profilnya setelah Pulau Sipadan dan Ligitan, juga berada di blok Ambalat, dinyatakan sebagai bagian dari Malaysia oleh Mahkamah Internasional.

AKSI SEPIHAK
* Tgl 21 Februari 2005 di Takat Unarang {nama resmi Karang Unarang) Sebanyak 17 pekerja Indonesia ditangkap oleh awak kapal perang Malaysia KD Sri Malaka,
* Angkatan laut Malaysia mengejar nelayan Indonesia keluar Ambalat.
* Malaysia dan Indonesia memberikan hak menambang ke Shell, Unocal dan ENI. [3]
* Berkaitan dengan itu pula surat kabar Kompas mengeluarkan berita bahwa Menteri Pertahanan Malaysia telah memohon maaf berkaitan perkara tersebut [4]. Berita tersebut segera disanggah oleh Menteri Pertahanan Malaysia yang menyatakan bahwa kawasan tersebut adalah dalam kawasan yang dituntut oleh Malaysia, dengan itu Malaysia tidak mempunyai sebab untuk memohon maaf karena berada dalam perairan sendiri. Sejajar dengan itu, Malaysia menimbang untuk mengambil tindakan undang-undang terhadap surat kabar KOMPAS yang dianggap menyiarkan informasi yang tidak benar dengan sengaja.
o Pemimpin Redaksi Kompas, Suryopratomo kemudian membuat permohonan maaf dalam sebuah berita yang dilaporkan di halaman depan harian tersebut pada 4 Mei 2005, di bawah judul Kompas dan Deputi Perdana Menteri Malaysia Sepakat Berdamai.[5]
* Pada koordinat: 4°6′03.59″N 118°37′43.52″E / 4.1009972°N 118.6287556°E / 4.1009972; 118.6287556 terjadi ketegangan yang melibatkan kapal perang pihak Malaysia KD Sri Johor, KD Buang dan Kota Baharu berikut dua kapal patroli sedangkan kapal perang dari pihak Indonesia melibatkan KRI Wiratno, KRI Tongkol, KRI Tedong Naga KRI K.S. Tubun, KRI Nuku dan KRI Singa [6] yang kemudian terjadi Insiden Penyerempetan Kapal RI dan Malaysia 2005, yaitu peristiwa pada tgl. 8 April 2005 Kapal Republik Indonesia Tedong Naga (Indonesia) yang menyerempet Kapal Diraja Rencong (Malaysia) sebanyak tiga kali, akan tetapi tidak pernah terjadi tembak-menembak karena adanya Surat Keputusan Panglima TNI Nomor: Skep/158/IV/2005 tanggal 21 April 2005 bahwa pada masa damai, unsur TNI AL di wilayah perbatasan RI-Malaysia harus bersikap kedepankan perdamaian dan TNI AL hanya diperbolehkan melepaskan tembakan bilamana setelah diawali adanya tembakan dari pihak Malaysia terlebih dahulu.
* Shamsudin Bardan, Ketua Eksekutif Persekutuan Majikan-majikan Malaysia (MEF) menganjurkan agar warga Malaysia mengurangi pemakaian tenaga kerja berasal dari Indonesia
* Pihak Indonesia mengklaim adanya 35 kali pelanggaran perbatasan oleh Malaysia.[7]
* Tgl 24 Februari 2007 pukul 10.00 WITA, yakni kapal perang Malaysia KD Budiman dengan kecepatan 10 knot memasuki wilayah Republik Indonesia sejauh satu mil laut, pada sore harinya, pukul 15.00 WITA, kapal perang KD Sri Perlis melintas dengan kecepatan 10 knot memasuki wilayah Republik Indonesia sejauh dua mil laut yang setelah itu dibayang-bayangi KRI Welang, kedua kapal berhasil diusir keluar wilayah Republik Indonesia.
* Tgl 25 Februari 2007 pukul 09.00 WITA KD Sri Perli memasuki wilayah RI sejauh 3.000 yard yang akhirnya diusir keluar oleh KRI Untung Suropati, kembali sekitar pukul 11.00, satu pesawat udara patroli maritim Malaysia jenis Beech Craft B 200 T Superking melintas memasuki wilayah RI sejauh 3.000 yard, kemudian empat kapal perang yakni KRI Ki Hadjar Dewantara, KRI Keris, KRI Untung Suropati dan KRI Welang disiagakan. [8]

Ambalat

http://id.wikipedia.org/wiki/Sengketa_blok_maritim_Ambalat

Proses reformasih

Proses reformasi dalam kancah politik Indonesia telah berjalan sejak 1998[rujukan?] dan telah menghasilkan banyak perubahan penting.

Di antaranya adalah pengurangan masa jabatan menjadi 2 kali masa bakti dengan masing-masing masa bakti selama 5 tahun untuk presiden dan wakil presiden, serta dilaksanakannya langkah-langkah untuk memeriksa institusi bermasalah dan keuangan negara. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang fungsinya meliputi: melantik presiden dan wakil presiden (sejak 2004 presiden dipilih langsung oleh rakyat), menciptakan Garis Besar Haluan Negara (GBHN), mengamandemen UUD dan mengesahkan undang-undang. MPR beranggotakan 695 orang yang meliputi seluruh anggota DPR yang beranggotakan 560 orang ditambah 132 orang dari perwakilan daerah yang dipilih dari masing-masing DPRD tiap-tiap provinsi serta 65 anggota yang ditunjuk dari berbagai golongan profesi.

DPR, yang merupakan institusi legislatif, mencakup 462 anggota yang terpilih melalui sistem perwakilan distrik maupun proporsional (campuran). Sebelum pemilu 2004, TNI dan Polri memiliki perwakilan di DPR dan perwakilannya di MPR akan berakhir pada tahun 2009. Perwakilan kelompok golongan di MPR telah ditiadakan pada 2004. Dominasi militer di dalam pemerintahan daerah perlahan-lahan menghilang setelah peraturan yang baru melarang anggota militer yang masih aktif untuk memasuki dunia politik.

Politik Indonesia

Indonesia adalah sebuah negara republik berdasarkan UUD 1945. Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan murni atau pure separation of powers, melainkan partial separation of powers atau pembagian kekuasaan, dengan sentral berada pada pemerintah Indonesia, hal ini tercermin dari dimilikinya sebagian kekuasaan yudikatif dan kekuasaan legislatif oleh presiden (eksekutif). Kekuasaan yang dimiliki eksekutif dalam bidang yudikatif meliputi pemberian grasi, abolisi, amnesti dan rehabilitasi oleh presiden, namun harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan kekuasaan eksekutif dalam bidang legislatif meliputi menetapkan Perpu dan Peraturan Pemerintah. Sistem pemerintahan Indonesia sering disebut sebagai "sistem pemerintahan presidensial dengan sifat parlementer". Setelah Kerusuhan Mei 1998 yang berujung pada lengsernya Presiden Soeharto, reformasi besar-besaran segera dilakukan di bidang politik.

timtim setelah jajak pendapat 1999

timtim setelah jajak pendapat 1999
menurut Vicente, mantan Ketua Sinode Gereja Protestan setempat, berintegrasinya Timor Timor ke NKRI bagaikan seorang anak yang hilang dan kembali kepangkuan ibunya. Dalam jajak pendapat tahun 1999 hasilnya dimenangi masyarakat "Prokem" (Pro Kemerdekaan) dengan perbandingan suara 71 dengan 29, tetapi berdasarkan sejarah suku etnis Timor Timur dengan Timor Barat tidak pernah bisa terpisahkan. Dari berbagai sisi seperti bahasa dan adat istiadat, masyarakat Timor Timur yang mendiami wilayah Timur dan masyarakat Timor Barat yang mendiami wilayah Barat, memiliki kesamaan yang tidak terpisahkan. "Kalaupun sekarang kedua bersaudara itu harus terpisah karena kepentingan politik, tetapi keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dan masyarakat Timor Timur akan aman bila kembali bersatu dengan saudara-saudaranya di Timor Barat," katanya. Menjawab pertanyaan, Satriawan yang senantiasa mengikuti perkembangan wilayah negara Timor Leste menyatakan berdasarkan fakta saat masyarakat Timor Timor berintegrasi dengan NKR tahun 1976 hingga 1999, daerah itu relatif aman dan masyarakatnya menikmati kesejahteraan. Dibanding dengan masa penjajahan Portugis dan setelah mendapatkan kemerdekaan tahun 2001, maka masa "emas" bagi masyarakat Timor Timur adalah saat berintegrasi (1976 s/d 1999). Itu sebabnya, tidak sedikit masyarakat Timor Leste yang setelah merdeka dan melepaskan diri dari NKRI menyesal, karena janji Uskup Belo (pimpinan Gereja Katholik pada masa itu) akan hidup lebih sejahtera setelah merdeka, ternyata tidak kunjung nyata. Bahkan perang saudara kian menjadi, pertikaian antar kelompok etnis yang ada justru semakin tidak terkendali, kehidupan kian susah, karena harga-harga sandang-pangan mengalami peningkatan luar biasa. Masyarakat sangat merindukan kehidupan d imasa-masa integrasi, sehingga peluang kembalinya masyarakat Timor Timur kepangkuan Ibu Pertiwi kian besar. Suka tidak suka, cepat atau lambat, pemerintah Indonesia harus mempersiapkan diri. "Memang terlepasnya Timor Timur pasca jajak pendapat merupakan pengalaman yang sangat pahit bagi bangsa Indonesia. Tetapi demi kemanusiaan, Indonesia tidak mungkin mampu menolak keinginan kembalinya masyarakat Timor Timur ke pangkuan Ibu Pertiwi. Ibarat anak yang hilang tidak mungkin orangtua melakukan penolakan," demikian Satriawan Sahak.( ant/Cn07 )

timtim setelah jajak pendapat 1999

timtim setelah jajak pendapat 1999
eluang Kembalinya Timtim ke Pangkuan RI Kian Terbuka Mataram, CyberNews.Pengamat hukum dan politik Universitas Mataram (Unram), H. Satriawan Sahak, SH M.Hum, mengemukakan peluang kembalinya Timor-Timur (Timor Leste,red) ke pangkuan "Ibu Pertiwi" kian terbuka. "Melihat situasi dan kondisi sosial politik yang terjadi di daerah bekas jajahan Portugal itu pasca kemerdekaan setelah jajak pendapat 1999, berpeluang besar kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi," katanya kepada wartawan di Mataram, Minggu. Menurut dia, kondisi sosial politik yang kian memanas, khususnya setelah penembakan warga sipil oleh pasukan perdamaian asal Australia, merupakan wujud tidak mampunya negara-negara asing mengamankan daerah itu dari pergolakan "perang saudara". Perang saudara yang berkepanjangan tidak akan pernah berakhir bila penanganan menggunakan pola-pola Barat, karena karakteristik masyarakat setempat sangat berbeda dengan budaya-budaya asing. Kolonial Portugis pada 1974, pada saat terjadi "Revolusi Bunga" hengkang meninggalkan wilayahya dan membiarkan masyarakat Timor-Timur terlibat perang saudara. Ketidakmampuan mengamankan daerah jajahannya ditandai dengan memberikan "kekuasaan" kepada salah satu partai, yakni Fretelin, sehingga terjadi pergolakan perang saudara yang melibatkan beberapa partai lain seperti UDT, Apodete, Trabalista, Kota. Perang saudara yang berkecamuk didaerah bekas jajahan Portugis tersebut memaksa sebagian besar masyarakat Timor Leste, khususnya dibagian Barat Timor Timur seperti Dili, Liquisa, Ermera, Maliana (Bobonaro), Kovalima, Oecusi mengungsi ke wilayah Timor Barat (Atambua, red). Pengungsian seperti itu bukan hanya terjadi saat berkecamuknya perang saudara tahun 1974/1976 dan pasca jajak pendapat tahun 1999, tetapi beberapa kali sebelumnya saat terjadi pemberontakan masyarakat Timor Timur terhadap negara kolonial Portugis. Berdasarkan catatan sejarah, pergolakan yang terjadi dalam masyarakat Timor Timur (Timor Leste) tidak akan pernah reda selama ditangani orang atau pihak asing. "Seorang tokoh pejuang dan tokoh agama Timor-Iimur almarhum Pendeta Vicente pernah menyatakan bahwa berintegrasinya Timor-Timur ke NKRI merupakan kehendak Tuhan Yang Maha Esa," katanya.