
Integrasi Timor Timur
Posted on July 17, 2008 by bhayu
Di tahun 1976, Presiden Soeharto menetapkan Timor-Timur sebagai provinsi termuda R.I. saat itu. Nomor urutnya 27. Hal ini ditandai dengan serah-terima duplikat Sang Saka Merah Putih dan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia kepada dua putra Timor: Arnoldo Dos Reis Araujo dan Francisco Lopes Da Cruz. Melalui UU No. 7/1976, MPR/DPR mengesahkan prosesi pengintegrasian wilayah bekas jajahan Portugal itu ke pangkuan Republik Indonesia. Kedua nama di atas kemudian menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur pertama Timor-Timur. Semenjak awalnya, wilayah ini memang sarat konflik. Ditinggalkan begitu saja tanpa tanggung-jawab oleh Portugal, penduduk di wilayah ini saling bertikai. Sudah sejak lama terjadi friksi antara dua wilayah utama di sana: Timor-Timur Barat dan Timor-Timur Timur. Pertikaian menjurus kepada kekacauan sipil dan perang saudara. Ditambah lagi kekuatiran akan berubahnya negeri itu jadi komunis, pemerintah Amerika Serikat melalui CIA melobby pemerintah Indonesia untuk bertindak cepat. Merasa mendapat angin, pemerintah Soeharto bergerak cukup cepat. Operasi intelijen dilaksanakan untuk menggalang dukungan pro-Indonesia. Operasi militer bertajuk “Operasi Seroja” pun digelar. Kekuatan ABRI untuk pertama kalinya digelar secara massif oleh pemerintah Orde Baru. Singkat kata, operasi militer berhasil karena Fretilin sebagai partai yang anti Indonesia ternyata tidak sekuat digembar-gemborkan. Operasi intelijen pun berhasil dengan mengupayakan memenangkan hati rakyat. Sayangnya, keberhasilan mengambil hati rakyat tidak berlanjut. Di kemudian hari, upaya melakukan pembangunan di provinsi itu terganjal sikap aparat keamanan yang sewenang-wenang. Konflik di Timor-Timur seolah dipelihara sebagai ajang latihan perang. Pelanggaran HAM terjadi dengan telanjang. Akibatnya rakyat Timor-Timur muak. Dengan lobby internasional yang kuat, didahului dengan penyerahan hadiah Nobel Perdamaian 1996 bagi tokoh pemberontak Fretilin Ramos Horta dan Uskup Dili yang condong ke arah kemerdekaan Mgr.Belo, pamor diplomasi Indonesia merosot drastis. Padahal waktu itu Menlu Indonesia dijabat Ali Alatas yang jago diplomasi dan sempat dinominasikan menjadi Sekjen PBB. Kekacauan koordinasi dan arogansi aparat keamanan menyebabkan upaya diplomasi internasional menjadi sia-sia. Momentum datang ketika Soeharto yang berupaya keras mempertahankan Timor-Timur di pelukan republik tumbang dari kekuasaan. Habibie yang menggantikannya ingin terkesan demokratis dan berupaya meraih simpati. Ia setuju mengadakan jajak pendapat. Laporan intelijen menguatkan keyakinannya bahwa mayoritas masyarakat Timor-Timur masih ingin bergabung dengan Indonesia. Tapi realitas bicara lain. Dalam jajak pendapat yang difasilitasi PBB itu, pro-integrasi dikalahkan pro-kemerdekaan. Meski ada berbagai keanehan dalam proses jajak pendapat, toh dunia internasional mengakuinya. Maka, mau tak mau pemerintah Indonesia pun harus mengakui kalau tidak ingin mendapatkan sanksi internasional. Maka, pada 25 Oktober 1999, Indonesia menyerahkan provinsi itu kepada PBB. TNI secara resmi meninggalkan Timor-Timur pada 30 Oktober 1999 dengan upacara penurunan bendera merah-putih. Timor-Timur berpaling pada Portugal, negeri yang pernah menjajahnya selama 450 tahun dan kemudian menelantarkannya. Nama Republica Democratica da Timor Leste dipilih sebagai nama negeri. “Leste” adalah “Timur” dalam bahasa Portugis. Bahasa Portugis yang asing dan bahasa asli Tetum yang nyaris punah dijadikan bahasa resmi. Tatanan hukum dan pemerintahan Portugal diimpor. Akhirnya pada 20 Mei 2001, pada tanggal yang diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional di Indonesia, Bumi Pertiwi justru kehilangan saudara mudanya. Dengan upacara mewah yang didanai PBB, negeri baru telah lahir di bumi. Padahal kalau kita ke sana, jelas sekali kalau mereka adalah saudara kita mengingat rumpun yang sama dengan saudaranya di Timor Barat. Itu semua gara-gara eksperimen politik penguasa dan petualangan perang para tentara tak tahu malu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar